HomeOpini PublikKawasan Transmigrasi sebagai Pusat Pertumbuhan

Kawasan Transmigrasi sebagai Pusat Pertumbuhan

 

Warga melintas di jembatan gantung kayu sepanjang 200 meter yang menghubungkan Desa Klewor dan Desa Bawu di Kemusu, Boyolali, Jawa Tengah, Minggu (26/4). Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Marwan Jafar menargetkan pengentasan 5.000 desa tertinggal selesai hingga akhir tahun 2019 melalui Gerakan Pembangunan Desa Semesta dengan mengucurkan dana sebesar Rp. 20 triliun untuk desa di seluruh Indonesia. ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/ss/Spt/15.
Warga melintas di jembatan gantung kayu sepanjang 200 meter yang menghubungkan Desa Klewor dan Desa Bawu di Kemusu, Boyolali, Jawa Tengah, Minggu (26/4). Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Marwan Jafar menargetkan pengentasan 5.000 desa tertinggal selesai hingga akhir tahun 2019 melalui Gerakan Pembangunan Desa Semesta dengan mengucurkan dana sebesar Rp. 20 triliun untuk desa di seluruh Indonesia. ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/ss/Spt/15.

DESA TERTINGGAL-Warga melintas di jembatan gantung kayu sepanjang 200 meter yang menghubungkan Desa Klewor dan Desa Bawu di Kemusu, Boyolali, Jawa Tengah, Minggu (26/4). Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Marwan Jafar menargetkan pengentasan 5.000 desa tertinggal selesai hingga akhir tahun 2019 melalui Gerakan Pembangunan Desa Semesta dengan mengucurkan dana sebesar Rp. 20 triliun untuk desa di seluruh Indonesia.

Sebagaimana diungkapkan tajuk Sinar Harapan (29/4), pemerintah melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) akan menghidupkan kembali program transmigrasi. Bahkan, untuk menarik masyarakat agar mau bertransmigrasi, selain berencana memberikan lahan untuk para transmigran, pemerintah akan memberikan biaya hidup per keluarga sebesar Rp 3,5 juta per bulan (selama 18 bulan).

Untuk itu, pemerintah telah menyediakan anggaran sekitar Rp 1,3-1,5 triliun pada tahun anggaran 2015.

Pemerintah merasa perlu menghidupkan kembali program transmigrasi, sebab program ini dinilai sukses mengentaskan kemiskinan dan mengembangkan kawasan pertumbuhan baru. Menurut catatan Kemendes PDTT  lebih dari 2,2 juta keluarga atau sekitar 8,8 juta orang warga transmigran berhasil dientaskan dari kemiskinan selama 64 tahun terakhir.

Unit-unit permukiman transmigrasi pun berkembang menjadi sentra-sentra produksi yang menggerakkan ekonomi wilayah sekitarnya. Bahkan, kawasan tersebut berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru.

Namun, pada beberapa kasus lahirnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru tersebut menimbulkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan antarwilayah yang tidak berimbang. Kondisi tersebut tercipta bila interaksi antara kawasan transmigrasi (yang menjadi pusat pertumbuhan) dan wilayah sekitarnya menunjukkan suatu hubungan yang saling memperlemah.

Jadi, berkembangnya kawasan transmigrasi sebagai pusat-pusat pertumbuhan tidak memberikan efek penetesan ke bawah (trickle down effect), tetapi justru menimbulkan efek pengurasan sumber daya dari wilayah yang ada di sekitar kawasan transmigrasi (backwash effect).

Setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebab terjadinya backwash effect tersebut. Pertama, pembentukan kawasan pertumbuhan dapat mengeksploitasi sumber daya yang ada di wilayah sekitarnya. Ini terjadi apabila wilayah sekitar kawasan pertumbuhan memiliki posisi tawar lemah terhadap kawasan pertumbuhan.
Oleh karena itu, agar hal tersebut tidak terjadi, harus ada simbiosis mutualisme antara kawasan transmigrasi sebagai pusat pertumbuhan dengan wilayah sekitarnya. Ini bisa dicapai bila industri yang berada di kawasan transmigrasi memiliki keterkaitan dengan industri atau perekonomian yang ada di wilayah sekitarnya. Idealnya industri yang dikembangkan di pusat-pusat pertumbuhan merupakan pasar input bagi komoditas/produk maupun jasa yang dihasilkan desa-desa di sekitarnya.

Kedua, apabila daerah pusat pertumbuhan berada dan sekitarnya dihuni masyarakat yang kualitas SDM-nya kurang berkembang, sebagian besar aktivitas bisnis di pusat pertumbuhan akhirnya lebih bersifat enclave. Hal ini mendatangkan banyak tenaga kerja dari luar yang memiliki kemampuan dan keterampilan sesuai kebutuhan industri di pusat pertumbuhan.

Padahal, tanpa pelibatan SDM lokal, keberadaan kawasan transmigrasi sebagai pusat pertumbuhan berpotensi menimbulkan kesenjangan antargolongan, yakni antara pihak yang terlibat dalam aktivitas bisnis di kawasan transmigrasi dengan penduduk setempat. Karena itu, tenaga kerja pada industri-industri yang ada di pusat-pusat pertumbuhan harus mengoptimalkan SDM setempat dan desa-desa sekitarnya.
Agropolitan dan Minapolitan
Konsep pengembangan wilayah dengan basis pengembangan kota-kota pertanian atau yang lebih dikenal dengan agropolitan (atau minapolitan untuk wilayah perikanan) bisa dikatakan sebagai bentuk ideal pembangunan kawasan transmigrasi. Dalam pengembangan agropolitan dan minapolitan, berarti ada keterkaitan yang sifatnya berjenjang dari desa-kota kecil-kota menengah-kota besar yang dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat (terutama masyarakat desa). Konsep keterkaitan desa-kota ini bisa dilakukan melalui pendekatan yang diarahkan untuk membangun keterkaitan spasial antarsubsistem rantai agribisnis/agroindustri.
Namun, perlu digarisbawahi, kemajuan wilayah pedesaan—dalam konsep pengembangan agropolitan/minapolitan—tidak didapat hanya dengan mengharapkan trickle down effect dari perkembangan wilayah yang menjadi pusat pertumbuhan (perkotaan). Karena itu, harus terdapat upaya-upaya bersifat komplementer untuk meningkatkan skala ekonomi pedesaan. Hal ini dapat ditempuh melalui pembangunan infrastruktur, penerapan teknologi, peningkatan investasi (modal), peningkatan kualitas SDM, maupun perbaikan kelembagaan di wilayah pedesaan sekitar pusat-pusat pertumbuhan.
Kebijakan Pendukung
Dalam pengembangan agropolitan/minapolitan diperlukan kebijakan pendukung. Kebijakan tersebut intinya adalah dapat mendorong redistribusi aset, terutama yang menyangkut lahan dan kapital. Ini karena faktanya kapital dan lahan yang ada di wilayah pedesaan (termasuk kawasan transmigrasi) banyak yang berpindah tangan dan kini dikuasai tuan tanah.

Proses redistribusi aset tersebut dapat dilakukan melalui serangkaian kebijakan. Pertama, pengembangan pengelolaan kelembagaan lahan pertanian secara bersama-sama antara petani kecil (kelompok tani) untuk mendapatkan manfaat skala ekonomi, melalui insentif peningkatan mutu lahan dan penyediaan kredit.

Dengan cara demikian, penguatan pengelolaan kelembagaan pengolahan lahan akan diikuti redistribusi kapital melalui pemberian fasilitas kredit kepada kelompok-kelompok tani (yang dihuni petani-petani kecil).

Kedua, menyediakan reservasi lahan pertanian melalui perpajakan dan subsidi. Kebijakan ini bertujuan menahan laju konversi lahan pertanian, terutama ditujukan pada lahan dengan produktivitas yang tinggi.
Akhirnya, semoga upaya pemerintah membangun kawasan transmigrasi dapat menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru sehingga kawasan transmigrasi dapat menjadi simbol kemakmuran.
Sumber : Sinar Harapan
Previous post
Dilema Kebijakan Transshipment
Next post
Benahi Strategi Industrialisasi

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *