Kawasan Transmigrasi sebagai Pusat Pertumbuhan
DESA TERTINGGAL-Warga melintas di jembatan gantung kayu sepanjang 200 meter yang menghubungkan Desa Klewor dan Desa Bawu di Kemusu, Boyolali, Jawa Tengah, Minggu (26/4). Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Marwan Jafar menargetkan pengentasan 5.000 desa tertinggal selesai hingga akhir tahun 2019 melalui Gerakan Pembangunan Desa Semesta dengan mengucurkan dana sebesar Rp. 20 triliun untuk desa di seluruh Indonesia.
Sebagaimana diungkapkan tajuk Sinar Harapan (29/4), pemerintah melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) akan menghidupkan kembali program transmigrasi. Bahkan, untuk menarik masyarakat agar mau bertransmigrasi, selain berencana memberikan lahan untuk para transmigran, pemerintah akan memberikan biaya hidup per keluarga sebesar Rp 3,5 juta per bulan (selama 18 bulan).
Untuk itu, pemerintah telah menyediakan anggaran sekitar Rp 1,3-1,5 triliun pada tahun anggaran 2015.
Pemerintah merasa perlu menghidupkan kembali program transmigrasi, sebab program ini dinilai sukses mengentaskan kemiskinan dan mengembangkan kawasan pertumbuhan baru. Menurut catatan Kemendes PDTT lebih dari 2,2 juta keluarga atau sekitar 8,8 juta orang warga transmigran berhasil dientaskan dari kemiskinan selama 64 tahun terakhir.
Unit-unit permukiman transmigrasi pun berkembang menjadi sentra-sentra produksi yang menggerakkan ekonomi wilayah sekitarnya. Bahkan, kawasan tersebut berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru.
Namun, pada beberapa kasus lahirnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru tersebut menimbulkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan antarwilayah yang tidak berimbang. Kondisi tersebut tercipta bila interaksi antara kawasan transmigrasi (yang menjadi pusat pertumbuhan) dan wilayah sekitarnya menunjukkan suatu hubungan yang saling memperlemah.
Jadi, berkembangnya kawasan transmigrasi sebagai pusat-pusat pertumbuhan tidak memberikan efek penetesan ke bawah (trickle down effect), tetapi justru menimbulkan efek pengurasan sumber daya dari wilayah yang ada di sekitar kawasan transmigrasi (backwash effect).
Kedua, apabila daerah pusat pertumbuhan berada dan sekitarnya dihuni masyarakat yang kualitas SDM-nya kurang berkembang, sebagian besar aktivitas bisnis di pusat pertumbuhan akhirnya lebih bersifat enclave. Hal ini mendatangkan banyak tenaga kerja dari luar yang memiliki kemampuan dan keterampilan sesuai kebutuhan industri di pusat pertumbuhan.
Proses redistribusi aset tersebut dapat dilakukan melalui serangkaian kebijakan. Pertama, pengembangan pengelolaan kelembagaan lahan pertanian secara bersama-sama antara petani kecil (kelompok tani) untuk mendapatkan manfaat skala ekonomi, melalui insentif peningkatan mutu lahan dan penyediaan kredit.
Dengan cara demikian, penguatan pengelolaan kelembagaan pengolahan lahan akan diikuti redistribusi kapital melalui pemberian fasilitas kredit kepada kelompok-kelompok tani (yang dihuni petani-petani kecil).
No Comment